PPS Pend. Sejarah UNJ |
`
Permasalahan
Pembelajaran IPS
Di SMP
Pada beberapa kali pertemuan dengan
guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang ada di sekolah tempat
saya bertugas maupun ketika dalam pertemuan MGMP, terungkap beberapa hal
terkait dengan pembelajaran mata pelajaran tersebut di sekolah. Ada guru yang
menolak dan/atau merasa terpaksa mengajarkan mata pelajaran IPS secara terpadu,
menginginkan model pembelajarannya secara terpisah sesuai dengan bahan kajian
keilmuannya. Guru yang bersangkutan merasa tidak sanggup membelajarkan materi
IPS yang tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan (spesialisasinya).
Misalnya di LPTK ia mengambil spesialisasi ilmu pendidikan sejarah, maka yang
ingin dibelajarkan pada peserta didik terbatas pada materi yang bersangkutan
dengan materi sejarah saja, sedangkan materi (bahan) kajian lainnya ingin
diserahkan pada guru IPS yang memiliki spesialisasi yang sesuai. Pada hal di
sekolah guru tetap mata pelajaran IPS sangat terbatas, terkadang hanya tersedia
satu atau dua orang yang memiliki spesialisasi khusus di bidangnya. Mengangkat
guru honor (guru tidak tetap), merupakan masalah tersendiri bagi sekolah,
lebih-lebih bagi sekolah kecil dan pinggiran, karena akan menyangkut anggaran
yang terbatas untuk membayar honornya, dan bisa jadi kalau sekolah memasukkan
guru honor, jam wajib mengajar (tatap muka di kelas) bagi guru tetap yang
bersangkutan menjadi tidak terpenuhi sesuai dengan tuntutan perundang-undangan
yang berlaku.
Permasalahan serupa sering pula saya
dengar pada saat melakukan diskusi di berbagai kesempatan pelatihan atau
pertemuan dinas (kerja), baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, dengan
beberapa teman yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama atau sama-sama
mengajar mata pelajaran IPS. Dalam diskusi itu, beberapa teman mengeluhkan
tentang beberapa persoalan yang mengganjal terkait pembelajaran IPS di
sekolahnya, misalnya : 1) ketidaksiapan dari guru-guru yang ada di sekolahnya
untuk membelajarkan IPS secara terpadu, mengingat terbatasnya tenaga guru yang
ada; 2) tidak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran IPS yang sesuai
dengan kebutuhan; dan 3) masih rendahnya hasil pembelajaran IPS di sekolah.
Berdasarkan gambaran di atas,
pembelajaran IPS di sekolah (SMP) masih memiliki persoalan yang mendasar,
terutama yang menyangkut tentang guru yang membelajarkannya. Permasalahan ini
tidak bisa didiamkan dan harus dicarikan solusinya, sehingga peserta didik
menerima pembelajaran IPS dengan bermakna, baik secara akademis maupun untuk
kehidupan sehari-hari mereka.
Mata pelajaran
IPS di tingkat SMP dalam Kurikulum 2004, sebagai mana tertuang dalam buku
Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu (Depdiknas, 2006), mencakup bahan
kajian ”geografi, ekonomi, sejarah dan sosiologi”, yang dibelajarkan, seperti
disebutkan oleh Sapriya (2009), secara ”terpadu (integrated)”. Dalam
sistem pembelajaran IPS seperti ini, di lapangan (sekolah) ditemukan beberapa
masalah mendasar seperti sudah disebutkan di atas. Permasalahan tersebut,
apabila dibatasi maka persoalannya bersangkutan dengan kualitas pembelajaran
IPS di sekolah, baik yang berkaitan dengan kualitas guru yang membelajarkannya,
maupun yang bertalian dengan cara pembelajarannya. Sejalan dengan itu, Sapriya
(2009), mengatakan ”
”Dalam bidang
pendidikan IPS (PIPS), baik yang bersifat school based maupun community
based tantangan yang dihadapi tidaklah sederhana,…..Tantangan mendesak yang
perlu dijawab adalah terkait dengan upaya peningkatan kualitas (mutu)
pendidikan. Salah satu variabel yang punya kontribusi cukup besar terhadap baik
buruknya kualitas pendidikan adalah unsur guru atau pendidik”.
Berdasarkan
pendapat di atas, maka peningkatan kualitas tenaga pendidik IPS untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik di sekolah, merupakan
prioritas yang harus diperhatikan secara serius. Diakui atau tidak, masih ada
kecenderungan guru dalam pembelajaran IPS menggunakan cara konvensional atau
tradisional, pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Hal ini di samping
disebabkan oleh masih kurangnya fasilitas (sarana) belajar IPS, juga didorong
oleh rendahnya pemahaman dan pengelaman guru tentang proses pembelajaran yang
bermutu (bermakna) bagi peserta didik, termasuk di dalamnya cara pembelajaran
IPS terpadu yang efektif. Di sekolah yang kekurangan tenaga pendidik, model
pembelajaran IPS terpadu, tidak bisa terselenggara dengan baik mengingat guru
kurang menguasai bahan kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang lain, selain yang
menjadi spesialisasinya.
Pada hakekatnya
pembelajaran IPS di sekolah (SMP) yang bersifat terpadu (integrated)
bertujuan ”agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik sehingga
pengorganisasian materi/bahan pelajaran disesuaikan dengan lingkungan,
karakteristik, dan kebutuhan peserta didik” (Sapriya, 2009). Sehingga peserta
didik dapat menguasai dimensi-dimensi pembelajaran IPS di sekolah, yaitu :
”menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap
dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action)”
(Sapriya, 2009).
Oleh karena itu
mata pelajaran IPS, menurut Sapriya (2009), merupakan ”seleksi dan integrasi
dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu-ilmu lain yang relevan, dikemas
secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan sosio-kultural untuk tujuan
pendidikan…..Untuk memahami masalah pendidikan IPS seseorang hendaknya memiliki
pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur,
ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang
digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya
tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial”.
Menyadari akan
hal di atas, maka sesungguhnya pembelajaran IPS yang bersifat terpadu di
sekolah-sekolah tidak ada masalah, terutama tingkat satuan pendidikan SMP,
walaupun guru IPS yang ada kurang atau tidak tersedia semua guru yang memiliki
spesialisasi pendidikan yang lengkap. Misalnya di suatu sekolah hanya tersedia
guru IPS dari spesialisasi keahlian pendidikan sejarah atau pendidikan geografi
saja, sedangkan yang berasal dari spesialisasi keilmuan pendidikan ekonomi dan
sosiologi tidak ada. Hal ini seyogyanya bukan menjadi masalah apabila tenaga
guru yang ada memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial,
bukan hanya paham terhadap bidang keilmuan yang menjadi spesialisasinya semata.
Guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk
mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang
mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan
horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep,
proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya,
bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki
kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu
diaorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas
dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai
kemaunisan.
Untuk menuju ke
arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang
landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari : ”landasan filosofis,
ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan
landasan religius” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut
untuk mampu menguasai dan melaksanakan pendekatan yang mampu mendorong dan
mengantarkan peserta didik untuk memperoleh integrasi dari nilai-nilai secara
utuh dan bermakna, dari masa lampau sampai masa kini dalam pembelajaran IPS
yang mereka terima. Ini berarti mengandung maksud, bahwa dalam proses
pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006) atau pendekatan
multidimensional (Atmadja, 1992), disebut pula dengan pendekatan
interdisipliner (Dipdiknas, 2006). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan
terpadu secara lebih lengkap, sebagaimana terdapat dalam buku Depdiknas (2006),
bahwa :
Model
pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran
yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif
mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik
dan otentik. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat
memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk
menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang
dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan
sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan
aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat
berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik.
Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan
proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan
sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta
didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan
belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia
nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu.
Keberhasilan
dalam menguasai dan menerapkan pendekatan di atas, harus didukung dengan
adannya keinginan yang untuk melakukan pengembangan diri secara
berkesinambungan, yang bisa dilakukan melalui berbagai cara atau jalur, bisa
dengan studi lanjut, pelatihan, MGMP, dan lain sebagainya. Dengan begitu setiap
guru IPS dapat menjaga dan mengembangkan pengetahuannya, yang sangat berguna
dalam pembelajaran bagi peserta didik. Hal ini menjadi lebih penting lagi
mengingat karena ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa, serta kebutuhan peserta didik terus mengalami perubahan menuju ke
arah yang lebih maju. Perubahan-perubahan tersebut juga memiliki dampak
negatif, termasuk bagi peserta didik. Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut
untuk sanggup mengabdi terhadap perubahan kehidupan secara umum, dan perubahan
dalam pembelajaran. Tanpa adanya keinginan semacam ini, maka pembelajaran IPS
di sekolah akan tetap dilakukan dengan cara konvensional atau tradisional,
tidak dilakukan dengan strategi dan metode pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik.
Dalam rangka
pengembangan diri berkelanjutan tenaga pendidik, termasuk guru IPS di SMP,
pemerintah pusat dan daerah sudah pada tempatnya lebih pro aktif dalam
memfasilitasinya. Setelah era otonemi daerah, diakui atau tidak, kesempatan
guru untuk mengembangkan diri sangat sedikit dan tidak bisa diikuti secara
merata dan berkeadilan. Disamping membantu guru dalam hal studi lanjut,
pelatihan dan sejenisnya, pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya harus mampu
mendorong terselenggaranya kegiatan MGMP IPS yang aktif dan berdaya guna untuk
menunjang pembelajaran IPS di sekolah. Kegiatan MGMP IPS di daerah Kabuapaten
Lombok Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, selama ini sangat kurang sekali
dan dilaksanakan tanpa maksud dan tujuan yang jelas, sehingga tidak terjadi
perubahan yang signifikan dalam kegiatan proses pembelajaran IPS di sekolah
(SMP). Ini menjadi sangat penting, mengingat tenaga guru IPS di setiap SMP
masih sangat kurang, atau pemerintah belum mampu mengangkat guru IPS secara
keseluruhan sesuai dengan spesialisasi keilmuannya. Semakin lebih penting lagi
karena guru IPS belum memiliki tingkat kemampuan memahami dan menguasai
ilmu-ilmu sosial yang secara mantap, ada kecenderungan di antara mereka hanya
mau menggeluti atau menguasai bidang keilmuan sosial yang hanya menjadi
spesialisasinya dan tidak bersifat terpadu. Dengan begitu diharapkan terjadi
peningkatan perolehan nilai hasil belajar peserta didik secera signifikan dalam
mata pelajaran IPS.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Negah
Bawa, 1992“Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan
Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud.
Depdiknas RI,
2006Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta
: Depdiknas.
Sapriya, 2009 Pendidikan
IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : Penerbit : PT Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar