K.H. MA’MUN NAWAWI
ULAMA PEJUANG DAN PENULIS DARI BEKASI
Oleh : Setiawan Arief. W, M.Pd
Guru Sejarah SMA Negeri 2 Cikarang
Selatan
Kyai Haji
Raden Ma’mun Nawawi atau yang akrab disapa “ Mamak” yang berarti orang yang
dihormati oleh masyarakat, adalah seorang ulama yang berasal dari Cibogo,
Kabupaten Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Raden Ma’mun Nawawi lahir pada hari
kamis, Jumladil Akhir 1334 H/1915 M di Kampung Cibogo, Desa Sindangmulya,
Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Beliau merupakan anak sulung dari pasangan H. Anwar dan Hj. Siti Romlah. Asal Usul keluarga Nawawi berasal dari Dayeuh Pamingkis Jonggol kabupaten Bogor. Sebagai keluarga yang taat terhadap agama, H. Anwar mengajarkan dan mendidik ilmu agama kepada putranya sejak dini dengan penuh disiplin, sehingga menjelang remaja beliau menjadi pecinta ilmu serta taat beribadah yang memiliki pribadi yang kokoh dan berakhlakul karimah.
Pendidikan
Di tahun 1928,
Nawawi muda lulus Sekolah Rakyat di usia 13 tahun. Selama dua tahun beliau
membantu ayahnya berdagang dan belum melanjutkan pendidikannya kembali.
Selama masa
pesantren di Sampur Plered, beliau merupakan murid yang terpandai dibanding
dengan santri yang lain. Beliau juga menimba ilmu kepada Syekh
Guru Mansur di Jembatan Lima Jakarta, mempelajari ilmu falaq. Hanya dalam
rentang waktu 40 hari beliau sudah bisa menguasai ilmu ini. Kitab-kitab yang
dipelajari selama di pesantren adalah tafsir, alfiyah, mantiq, fiqih,
lughat dan kitab-kitab lainnya.
Setelah
pulang mondok di Sempur, Plered, Purwakarta, beliau pergi ke Makkah untuk
menunaikan ibadah Haji dan belajar disana. Beliau belajar di Makkah selama dua
tahun. Di Makkah pecinta habib ini mengaji dan mempelajari ilmu hadits dan
tafsir. Guru-gurunya di Makkah yakni Syekh Khalifah Nabwah, Sayid Alwie
bin Abbas al-Maliki, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Fathoni, dan lain-lainnya
yang tidak dapat disebut secara terperinci. Dengan kesungguhan hati dan
keinginan yang besar beliau mendapatkan banyak ilmu selama berada di Makkah.
Menurut Encep S yang dikutip Bahar Maksum (2018), pada tahun 1941 K.H. Ma’mun Nawawi kembali ke Jawa, dan melanjutkan belajar ilmu agama kepada para ulama Jawa. Pada tahun 1942, beliau berangkat ke Jombang Tebu Ireng, berguru kepada Syekh Hasyim Asy’ari. Beliau tidak pernah puas terhadap apa yang beliau peroleh dari pesantrennya itu. Dalam hal menuntut ilmu beliau bagaikan seorang pengembara yang sedang kehausan mencari air. Beliau berkelana ke setiap pesantren besar yang beliau singgah, terutama di pulau Jawa.
Mendirikan
Pesantren Al-Baqiyatussholihat
Setelah
dianggap bisa dan memadai beradaptasi untuk mengembangkan dakwah Islamiyah,
Raden Ma’mun Nawawi diminta oleh ayahnya, KH. Raden Anwar untuk kembali ke kampung
halamannya di Cibogo, Cibarusah, untuk mendirikan pesantren, maka berdirilah Pesantren
Al-Baqiyatussholihat pada tahun 1938. Seluruh santri di Pesantren Pandeglang
ikut gabung ke Pesantren Al-Baqiyatussholihat ini.
Pada masa keemasannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1000 santri dalam satu angkatan. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak (Hisab). Ketika berbicara masalah pesantren ini, maka yang muncul adalah Pesantren Ilmu Falak. Karena itu, ketika pemerintah Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya membutuhkan masalah perhitungan falakiyah, selalu merujuk ke pesantren ini. Sekarang masalah falakiyah juga masih diajarkan di sini. Pesantren yang beliau dirikan ini adalah pesantren tertua yang ada di daerah ini.
Peninggalan
Dan Karya Tulisan
K.H. Ma’mun
Nawawi juga meninggalkan karya fisik yang hingga saat ini masih bisa kita
pelajari. Peninggalan yang berupa karya fisik yaitu, Pesantren
Al-Baqiyatussholihat, Asrama Pesantren, Masjid Jami Al-Baqiyatussholihat,
Yayasan Pendidikan Agama Islam Al-Baqiyatussholihat, Madrasah Tsanawiyah yang
didirikan pada tahun 1969, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Aliyah yang semuanya
diberi nama Al-Baqiyatussholihat, kalender almanak, kitab-kitab yang
diterbitkan oleh Arafat di Pasar Baru Bogor.
Ada 21 kitab
yang sudah diterbitkan sejak tahun 1948 sampai sekarang dan masih dicetak untuk
didistribusikan
ke pesantren-pesantren yang ada di Jawa, diantaranya adalah Qolaidul Juman Fi Aqaidul Iman, Manasiq H. wal Umrah, Bahjatul Wuduh Fi
Hadits Awfatil Fuluh, I’ anah Rafiq fi Tarjamah, Tadwirul Qulud, Taysirul Awam,
Tuhfatul At Fal, Manaqib Syekh Abdul Qadir, Fiqh (dua jilid), Maulid Nabi (empat jilid), Parakunan Pashalatan, Al-Atiyatul Haniyah, At-Taisir Ilmu Falaq
(Empat Jilid), dan Hushuli Rojai.
Karya non
fisiknya yang berbentuk kebudayaan atau tradisi yang saat ini masih terus
dilaksanakan masyarakat Cibogo ialah Perayaan Rebo akhir Bulan Safar. Tradisi
ini mengandung makna sedekah menolak bala.
Sebagai pengarang kitab yang produktif, beliau memiliki kemampuan yang sangat menonjol dalam bidang ilmu falaq yang dipelajarinya selama 40 hari hingga matanya berdarah karena terus dipaksakannya untuk belajar. Ilmu falaq merupakan ilmu penghitungan untuk menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya. Ilmu falaq yang dimilikinya ini di teruskan kepada murid-muridnya. Salah satu keturunannya yang memiliki kemampuan yang sama dengannya dalam ilmu falaq adalah anaknya yaitu K.H. Encep Syahroni Nawawi.
Ulama
Pejuang
Selain
menyebarkan ajaran Islam, beliau mempunyai andil besar dalam mempertahankan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Bersama dengan masyarakat setempat
melibatkan diri menjadi penasihat spiritual Laskar Hizbullah. Pada masa perang kemerdekaan beliau
juga mengadakan pelatihan militer santri Hizbullah di Cibarusah yang kemudian
dikirim ke Bekasi untuk menghadapi tentara sekutu secara frontal di bawah
komandan yang juga teman seperjuangan terkenal sebagai macan dari Bekasi yaitu
K.H. Noer Alie seorang pahlawan nasional.
Pemimpin perjuangan yang berlatih di camp Cibarusah saat itu, dimulai pelatihan perang pertama pada 28 Februari 1945, dipimpin beberapa tokoh seperti K.H. Wahid Hasyim, yang mewakili ayahnya, Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Zainul Arifin, bersama sekitar 500 pemimpin Laskar Hizbullah Sabilillah, juga diantaranya ulama Bekasi K.H. Noer Alie dan K.H. Ma’mun Nawawi, pengasuh Pesantren Al-Baqiyatussolihat Cibogo, Cibarusah, Bekasi. Usai pelatihan perang tersebut, 500 kader kembali ke desa-desa dan memberikan latihan kepada para pemuda sehingga pada saat Jepang menyerah, anggota Hizbullah berjumlah 50.000 orang.
Wafat
K.H. Ma’mun Nawawi wafat pada malam Jum’at 26 Muharram 1395 H Pukul 01.15 WIB yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1975 M di Cibogo, Cibarusah dalam usia 63 tahun (1912-1975 M). Dari perkawinannya dengan Nyi Junah, ia mendapatkan 6 orang putra, yaitu Muhaimin, Muhammad Jajuli, Zainal Mutaqin, Abdul Mu’ min, Abdul Rahim dan Abdul Halim. Pondok pesantrennya saat ini diteruskan oleh salah satu putranya, K.H. Jamaluddin Nawawi.
Nilai-Nilai
Keteladanan K.H. Ma’mun Nawawi
Apa yang
telah dilakukan K.H. Ma’mun Nawawi semasa hidupnya berangkat
dari lurusnya niat dan kebulatan tekad pengabdian pada bangsa, menjadi teladan bagi masyarakat zaman
itu. Belum lagi jika melihat karakter pribadinya yang menarik. K.H. Ma’mun
Nawawi bukanlah tipikal ulama atau ajengan yang ingin eksis di kancah politik.
Beliau memposisikan dirinya pada jalur seorang pendidik, cendekiawan
dan “pengatur strategi” dalam setiap pergerakan. Beliau merupakan seorang ahli Ilmu Falak
dan Astronomi Islam. Sangat jarang ulama/ajengan yang memiliki tingkat
produktivitas tinggi dalam menulis. Kebanyakan memainkan peran sebagai
pendakwah yang bertutur lisan dan sedikit mengabadikan dalam karya tulisan.
Tidak
terlintas sedikitpun di dalam diri K.H. Ma’mun Nawawi di dalam hidupnya
memiliki keinginan menjadi pahlawan nasional. Sehingga tidak
heran, jika nama beliau nyaris tidak tercatat dalam buku sejarah
Bekasi ataupun nasional. Meski demikian, rekam jejak perjuangan dan karya
beliaulah yang tetap menjadikan namanya abadi hingga kini. Justru nama beliau
malah terkenal di kalangan ulama/ajengan di Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten.
Bahkan K.H. Ma’mun Nawawi menjadi rujukan ulama-ulama lain, khususnya dalam bidang
Ilmu Falak. Emas tetap akan menjadi emas, meski terkubur dalam lumpur
sekalipun.
Saat
penetapan Hari Santri Nasional pertama pada tahun 2015 lalu, Pondok Pesantren
Al-Baqiyatussholihat yang didirikan beliau, menjadi tujuan Kirab Hari Santri
Nasional. Pada kesempatan itu, Tim Kirab Nasional yang digawangi PBNU
menetapkan K.H Ma’mun Nawawi sebagai pejuang kemerdekaan dan pesantrennya
ditetapkan menjadi situs sejarah nasional Pelatihan Laskar Hizbullah
Sabilillah.
Rekam jejak
perjuangan beliau terhadap agama dan tanah air, akhirnya terdokumentasi. Profil
serta kisah perjuangan beliau diabadikan bersama ulama-ulama lainnya dalam buku
yang resmi dirilis Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bekasi. Pada buku
setebal 279 halaman, MUI mengisahkan sembilan tokoh pejuang yang berjasa tidak
hanya di wilayah Bekasi namun juga di
tingkat nasional. "Buku ini diprakarsai MUI agar kita semua
mengenali jejak hayat para pejuang pendahulu kita, memahami alam pikirannya,
dan menarik ilham dari keteladanan mereka," kata Ketua MUI Kabupaten
Bekasi, Nurul Anwar. (Pikiran Rakyat, 12 Januari 2018).
Jika tidak
memiliki peran besar, tidaklah K.H. Ma’mun Nawawi mendapatkan penghormatan
sebesar itu. Ini sebuah pengakuan dan peneguhan dari “kalangan luar” yang
sangat pasti terhadap ketokohan K.H Ma’mun Nawawi. Dari sosok K.H. Ma’mun
Nawawi, kita bisa belajar sejarah, mengambil nilai kebaikan dan
pembelajaran untuk masa depan. Terutama para generasi milenial, dapat terus membumikan spirit
ulama dan tokoh perjuangan, termasuk spirit perjuangan K.H. Ma’mun Nawawi. Cinta tanah air, rela
berkorban, dan keikhlasan berjuang memajukan masyarakat merupakan nilai-nilai
keteladanan yang patut ditiru dari K.H. Ma’mun
Nawawi. Nilai-nilai itulah yang diperlukan untuk menjaga persatuan
dan keutuhan bangsa.
Ancaman
yang merusak tatanan bangsa ini bukan lagi penjajahan secara fisik. Tantangan
terbesar di era milenial adalah
ancaman serangan mental dan ideologi yang merusak perdamaian bangsa. Tantangan
di era milenial yang padat teknologi digital saat ini juga semakin kompleks.
Narasi-narasi
negatif mudah memecah belah persatuan bangsa. Setiap hari masyarakat disuguhi
dengan konten yang tidak mendidik dan mudah menghasut. Dalam konteks itu, butuh
figur-figur panutan, khususnya bagi kaum milenial agar dapat mendarmabaktikan
tenaga dan pikirannya untuk melawan penjajahan narasi yang mencoba meruntuhkan
NKRI. Perang narasi di dunia maya menjadi tantangan kekinian bagi para
generasil milenial.
Sebagai
catatan penutup, dalam kaitannya dengan H2C Hello Hero Challenge yang diprakarsai oleh Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat, seyogyanya perlu mengangkat tokoh-tokoh
lokal sebagai figur teladan bagi anak muda atau kaum milenial di daerahnya
masing-masing atau bahkan nasioanl, demi terjaganya perdamaian dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Sopandi & Ahmad
Jaelani. 2018. Peranan K.H. Ma’mun Nawawi
Dan Laskar Hizbullah Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Disparbudpora Kabupaten Bekasi.
Bahar, Maksum, dkk. 2018. Ulama Pejuang Kabupaten Bekasi. Penerbit: MUI Kabupaten Bekasi.
Tim Bidang Kearsipan Dinas Kearsipan & Perpustakaan Bersama Tim MGMP Sejarah SMA Kabupaten Bekasi. 2018. Rekonstruksi Arsip Menjadi Media Informasi. Penerbit: Dinas Kearsipan Dan Perpustakaan Kabupaten Bekasi.
Andryandy, Tommy. 2018. MUI Rilis Dokumentasi 9 Ulama Pejuang Bekasi. https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/01/12/mui-rilis-dokumentasi-9-ulama-pejuang-bekasi-417760. Diakses pada 04 Nopember 2020 pukul 14.12 WIB.
(https://www.nubekasi.id/2018/11/mengenal-mama-cibogo-cibarusah-pejuang-kemerdekaan-dari-bekasi-.html. Diakses pada 10 Nopember 2020 Pukul. 14.34 WIB
#H2C-Hello Hero Challenge
#HelloHeroChallenge_KaryaTulis
#sahabatikomdik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar