Rabu, 18 November 2020

 

K.H. MA’MUN NAWAWI

ULAMA PEJUANG DAN PENULIS DARI BEKASI

Oleh : Setiawan Arief. W, M.Pd

Guru Sejarah SMA Negeri 2 Cikarang Selatan

 

Kyai Haji Raden Ma’mun Nawawi atau yang akrab disapa “ Mamak” yang berarti orang yang dihormati oleh masyarakat, adalah seorang ulama yang berasal dari Cibogo, Kabupaten Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Raden Ma’mun Nawawi lahir pada hari kamis, Jumladil Akhir 1334 H/1915 M di Kampung Cibogo, Desa Sindangmulya, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Beliau merupakan anak sulung dari pasangan H. Anwar dan Hj. Siti Romlah. Asal Usul keluarga Nawawi berasal dari Dayeuh Pamingkis Jonggol kabupaten Bogor. Sebagai keluarga yang taat terhadap agama, H. Anwar mengajarkan dan mendidik ilmu agama kepada putranya sejak dini dengan penuh disiplin, sehingga menjelang remaja beliau menjadi pecinta ilmu serta taat beribadah yang memiliki pribadi yang kokoh dan berakhlakul karimah.

Pendidikan

Di tahun 1928, Nawawi muda lulus Sekolah Rakyat di usia 13 tahun. Selama dua tahun beliau membantu ayahnya berdagang dan belum melanjutkan pendidikannya kembali.

Selama masa pesantren di Sampur Plered, beliau merupakan murid yang terpandai dibanding dengan santri yang lain. Beliau juga menimba ilmu kepada Syekh Guru Mansur di Jembatan Lima Jakarta, mempelajari ilmu falaq. Hanya dalam rentang waktu 40 hari beliau sudah bisa menguasai ilmu ini. Kitab-kitab yang dipelajari selama di pesantren adalah tafsir, alfiyah, mantiq, fiqih, lughat dan kitab-kitab lainnya.

Setelah pulang mondok di Sempur, Plered, Purwakarta, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji dan belajar disana. Beliau belajar di Makkah selama dua tahun. Di Makkah pecinta habib ini mengaji dan mempelajari ilmu hadits dan tafsir. Guru-gurunya di Makkah yakni Syekh Khalifah Nabwah, Sayid Alwie bin Abbas al-Maliki, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Fathoni, dan lain-lainnya yang tidak dapat disebut secara terperinci. Dengan kesungguhan hati dan keinginan yang besar beliau mendapatkan banyak ilmu selama berada di Makkah.

Menurut Encep S yang dikutip Bahar Maksum (2018), pada tahun 1941 K.H. Ma’mun Nawawi kembali ke Jawa, dan melanjutkan belajar ilmu agama kepada para ulama Jawa. Pada tahun 1942, beliau berangkat ke Jombang Tebu Ireng, berguru kepada Syekh Hasyim Asy’ari. Beliau tidak pernah puas terhadap apa yang beliau peroleh dari pesantrennya itu. Dalam hal menuntut ilmu beliau bagaikan seorang pengembara yang sedang kehausan mencari air. Beliau berkelana ke setiap pesantren besar yang beliau singgah, terutama di pulau Jawa.

Mendirikan Pesantren Al-Baqiyatussholihat

Setelah dianggap bisa dan memadai beradaptasi untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, Raden Ma’mun Nawawi diminta oleh ayahnya, KH. Raden Anwar untuk kembali ke kampung halamannya di Cibogo, Cibarusah, untuk mendirikan pesantren, maka berdirilah Pesantren Al-Baqiyatussholihat pada tahun 1938. Seluruh santri di Pesantren Pandeglang ikut gabung ke Pesantren Al-Baqiyatussholihat ini.

Pada masa keemasannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1000 santri dalam satu angkatan. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak (Hisab). Ketika berbicara masalah pesantren ini, maka yang muncul adalah Pesantren Ilmu Falak. Karena itu, ketika pemerintah Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya membutuhkan masalah perhitungan falakiyah, selalu merujuk ke pesantren ini. Sekarang masalah falakiyah juga masih diajarkan di sini. Pesantren yang beliau dirikan ini adalah pesantren tertua yang ada di daerah ini.

Peninggalan Dan Karya Tulisan

K.H. Ma’mun Nawawi juga meninggalkan karya fisik yang hingga saat ini masih bisa kita pelajari. Peninggalan yang berupa karya fisik yaitu, Pesantren Al-Baqiyatussholihat, Asrama Pesantren, Masjid Jami Al-Baqiyatussholihat, Yayasan Pendidikan Agama Islam Al-Baqiyatussholihat, Madrasah Tsanawiyah yang didirikan pada tahun 1969, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Aliyah yang semuanya diberi nama Al-Baqiyatussholihat, kalender almanak, kitab-kitab yang diterbitkan oleh Arafat di Pasar Baru Bogor.

Ada 21 kitab yang sudah diterbitkan sejak tahun 1948 sampai sekarang dan masih dicetak untuk didistribusikan ke pesantren-pesantren yang ada di Jawa, diantaranya adalah Qolaidul Juman Fi Aqaidul Iman, Manasiq H. wal Umrah, Bahjatul Wuduh Fi Hadits Awfatil Fuluh, I’ anah Rafiq fi Tarjamah, Tadwirul Qulud, Taysirul Awam, Tuhfatul At Fal, Manaqib Syekh Abdul Qadir, Fiqh (dua jilid), Maulid Nabi (empat jilid), Parakunan Pashalatan, Al-Atiyatul Haniyah, At-Taisir Ilmu Falaq (Empat Jilid), dan Hushuli Rojai.

Karya non fisiknya yang berbentuk kebudayaan atau tradisi yang saat ini masih terus dilaksanakan masyarakat Cibogo ialah Perayaan Rebo akhir Bulan Safar. Tradisi ini mengandung makna sedekah menolak bala.

Sebagai pengarang kitab yang produktif, beliau memiliki kemampuan yang sangat menonjol dalam bidang ilmu falaq yang dipelajarinya selama 40 hari hingga matanya berdarah karena terus dipaksakannya untuk belajar. Ilmu falaq merupakan ilmu penghitungan untuk menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya. Ilmu falaq yang dimilikinya ini di teruskan kepada murid-muridnya. Salah satu keturunannya yang memiliki kemampuan yang sama dengannya dalam ilmu falaq adalah anaknya yaitu K.H. Encep Syahroni Nawawi.

Ulama Pejuang

Selain menyebarkan ajaran Islam, beliau mempunyai andil besar dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bersama dengan masyarakat setempat melibatkan diri menjadi penasihat spiritual Laskar Hizbullah. Pada masa perang kemerdekaan beliau juga mengadakan pelatihan militer santri Hizbullah di Cibarusah yang kemudian dikirim ke Bekasi untuk menghadapi tentara sekutu secara frontal di bawah komandan yang juga teman seperjuangan terkenal sebagai macan dari Bekasi yaitu K.H. Noer Alie seorang pahlawan nasional.

Pemimpin perjuangan yang berlatih di camp Cibarusah saat itu, dimulai pelatihan perang pertama pada 28 Februari 1945, dipimpin beberapa tokoh seperti K.H. Wahid Hasyim, yang mewakili ayahnya, Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Zainul Arifin, bersama sekitar 500 pemimpin Laskar Hizbullah Sabilillah, juga diantaranya ulama Bekasi K.H. Noer Alie dan K.H. Ma’mun Nawawi, pengasuh Pesantren Al-Baqiyatussolihat Cibogo, Cibarusah, Bekasi. Usai pelatihan perang tersebut, 500 kader kembali ke desa-desa dan memberikan latihan kepada para pemuda sehingga pada saat Jepang menyerah, anggota Hizbullah berjumlah 50.000 orang.

Wafat

K.H. Ma’mun Nawawi wafat pada malam Jum’at 26 Muharram 1395 H Pukul 01.15 WIB yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1975 M di Cibogo, Cibarusah dalam usia 63 tahun (1912-1975 M). Dari perkawinannya dengan Nyi Junah, ia mendapatkan 6 orang putra, yaitu Muhaimin, Muhammad Jajuli, Zainal Mutaqin, Abdul Mu’ min, Abdul Rahim dan Abdul Halim. Pondok pesantrennya saat ini diteruskan oleh salah satu putranya, K.H. Jamaluddin Nawawi.

Nilai-Nilai Keteladanan K.H. Ma’mun Nawawi

Apa yang telah dilakukan K.H. Ma’mun Nawawi semasa hidupnya berangkat dari lurusnya niat dan kebulatan tekad pengabdian pada bangsa, menjadi teladan bagi masyarakat zaman itu. Belum lagi jika melihat karakter pribadinya yang menarik. K.H. Ma’mun Nawawi bukanlah tipikal ulama atau ajengan yang ingin eksis di kancah politik. Beliau memposisikan dirinya pada jalur seorang pendidik, cendekiawan dan “pengatur strategi” dalam setiap pergerakan. Beliau merupakan seorang ahli Ilmu Falak dan Astronomi Islam. Sangat jarang ulama/ajengan yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dalam menulis. Kebanyakan memainkan peran sebagai pendakwah yang bertutur lisan dan sedikit mengabadikan dalam karya tulisan.

Tidak terlintas sedikitpun di dalam diri K.H. Ma’mun Nawawi di dalam hidupnya memiliki keinginan menjadi pahlawan nasional. Sehingga tidak heran, jika nama beliau nyaris tidak tercatat dalam buku sejarah Bekasi ataupun nasional. Meski demikian, rekam jejak perjuangan dan karya beliaulah yang tetap menjadikan namanya abadi hingga kini. Justru nama beliau malah terkenal di kalangan ulama/ajengan di Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten. Bahkan K.H. Ma’mun Nawawi menjadi rujukan ulama-ulama lain, khususnya dalam bidang Ilmu Falak. Emas tetap akan menjadi emas, meski terkubur dalam lumpur sekalipun.

Saat penetapan Hari Santri Nasional pertama pada tahun 2015 lalu, Pondok Pesantren Al-Baqiyatussholihat yang didirikan beliau, menjadi tujuan Kirab Hari Santri Nasional. Pada kesempatan itu, Tim Kirab Nasional yang digawangi PBNU menetapkan K.H Ma’mun Nawawi sebagai pejuang kemerdekaan dan pesantrennya ditetapkan menjadi situs sejarah nasional Pelatihan Laskar Hizbullah Sabilillah.

Rekam jejak perjuangan beliau terhadap agama dan tanah air, akhirnya terdokumentasi. Profil serta kisah perjuangan beliau diabadikan bersama ulama-ulama lainnya dalam buku yang resmi dirilis Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bekasi. Pada buku setebal 279 halaman, MUI mengisahkan sembilan tokoh pejuang yang berjasa tidak hanya di wilayah Bekasi namun juga di tingkat nasional. "Buku ini diprakarsai MUI agar kita semua mengenali jejak hayat para pejuang pendahulu kita, memahami alam pikirannya, dan menarik ilham dari keteladanan mereka," kata Ketua MUI Kabupaten Bekasi, Nurul Anwar. (Pikiran Rakyat, 12 Januari 2018).

Jika tidak memiliki peran besar, tidaklah K.H. Ma’mun Nawawi mendapatkan penghormatan sebesar itu. Ini sebuah pengakuan dan peneguhan dari “kalangan luar” yang sangat pasti terhadap ketokohan K.H Ma’mun Nawawi. Dari sosok K.H. Ma’mun Nawawi, kita bisa belajar sejarah, mengambil nilai kebaikan dan pembelajaran untuk masa depan. Terutama para generasi milenial, dapat terus membumikan spirit ulama dan tokoh perjuangan, termasuk spirit perjuangan K.H. Ma’mun Nawawi. Cinta tanah air, rela berkorban, dan keikhlasan berjuang memajukan masyarakat merupakan nilai-nilai keteladanan yang patut ditiru dari K.H. Ma’mun Nawawi. Nilai-nilai itulah yang diperlukan untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.

Ancaman yang merusak tatanan bangsa ini bukan lagi penjajahan secara fisik. Tantangan terbesar di era milenial adalah ancaman serangan mental dan ideologi yang merusak perdamaian bangsa. Tantangan di era milenial yang padat teknologi digital saat ini juga semakin kompleks.

Narasi-narasi negatif mudah memecah belah persatuan bangsa. Setiap hari masyarakat disuguhi dengan konten yang tidak mendidik dan mudah menghasut. Dalam konteks itu, butuh figur-figur panutan, khususnya bagi kaum milenial agar dapat mendarmabaktikan tenaga dan pikirannya untuk melawan penjajahan narasi yang mencoba meruntuhkan NKRI. Perang narasi di dunia maya menjadi tantangan kekinian bagi para generasil milenial.

Sebagai catatan penutup, dalam kaitannya dengan H2C Hello Hero Challenge yang diprakarsai oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, seyogyanya perlu mengangkat tokoh-tokoh lokal sebagai figur teladan bagi anak muda atau kaum milenial di daerahnya masing-masing atau bahkan nasioanl, demi terjaganya perdamaian dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

A.           Sopandi & Ahmad Jaelani. 2018. Peranan K.H. Ma’mun Nawawi Dan Laskar Hizbullah Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Disparbudpora Kabupaten Bekasi.

 

Bahar, Maksum, dkk. 2018. Ulama Pejuang Kabupaten Bekasi. Penerbit: MUI Kabupaten Bekasi.


Tim Bidang Kearsipan Dinas Kearsipan & Perpustakaan Bersama Tim MGMP Sejarah SMA Kabupaten Bekasi. 2018. Rekonstruksi Arsip Menjadi Media Informasi. Penerbit: Dinas Kearsipan Dan Perpustakaan Kabupaten Bekasi.

 

Andryandy, Tommy. 2018. MUI Rilis Dokumentasi 9 Ulama Pejuang Bekasi. https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/01/12/mui-rilis-dokumentasi-9-ulama-pejuang-bekasi-417760. Diakses pada 04 Nopember 2020 pukul 14.12 WIB. 

(https://www.nubekasi.id/2018/11/mengenal-mama-cibogo-cibarusah-pejuang-kemerdekaan-dari-bekasi-.html. Diakses pada 10 Nopember 2020 Pukul. 14.34 WIB


#H2C-Hello Hero Challenge

#HelloHeroChallenge_KaryaTulis

#sahabatikomdik


Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin (Koneksi Antar Materi )

Hubungan Filosofis KHD Dengan Patrap Triloka  Patrap Triloka adalah sebuah konsep pendidikan yang digagas oleh Suwardi Suryaningrat (alias K...