Minggu, 26 Februari 2012

Lap. Observasi Pembelajaran sejarah

A.  PENDAHULUAN
Proses belajar mengajar merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Ketiga hal tersebut merupakan rangkaian utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Persiapan belajar mengajar merupakan penyiapan satuan acara pelajaran (SAP) yang meliputi antara lain standar kompetensi dan kompetensi dasar, alat evaluasi, bahan ajar, metode pembelajaran, media/alat peraga pendidikan, fasilitas, waktu, tempat, dana, harapan-harapan, dan perangkat informasi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar. Kesiapan siswa, baik fisik maupun mental, juga merupakan hal penting. Jadi esensi persiapan proses belajar mengajar adalah kesiapan segala hal yang diperlukan untuk berlangsungnya proses belajar mengajar.
Pelaksanaan proses belajar mengajar, merupakan kejadian atau peristiwa interaksi antara pendidik dan peserta didik yang diharapkan menghasilkan perubahan pada peserta didik, dari belum mampu menjadi mampu, dari belum terdidik menjadi terdidik, dari belum kompeten menjadi
kompeten. Inti dari proses belajar mengajar adalah efektivitasnya. Tingkat
efektivitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perilaku pendidik dan perilaku peserta didik. Perilaku pendidik yang efektif, antara lain mengajarnya jelas, menggunakan variasi metode pembelajaran, menggunakan variasi media/alat peraga pendidikan, antusiasme, memberdayakan peserta didik, menggunakan pembelajaran kontekstual (contextual-teaching and learning), menggunakan jenis pertanyaan yang membangkitkan, dan lain sebagainya. Sedang perilaku peserta didik, antara lain motivasi atau semangat belajar, keseriusan, perhatian, kerajinan, kedisiplinan, keingintahuan, pencatatan, pertanyaan, senang melakukan latihan soal, dan sikap belajar yang positif.
Dalam rangka pengembangan pembelajaran sejarah agar lebih efektif, dinamis dan menyenagkan, maka terdapat berbagai bidang yang seyogianya mendapat perhatian[1], yaitu: pertama, untuk menjawab tantangan masa depan, kreativitas dan daya inovatif diperlukan agar suatu bangsa bukan hanya sekedar manjadi konsumen IPTEK, konsumen budaya, maupun penerima nilai-nilai dari luar secara pasif, melainkan memiliki keunggulan kompetitif dalam hal penguasaan IPTEK. Oleh karenanya, sikap, motivasi, dan kreativitas perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar mengajar yang dinamis di mana pengajar mendorong vitalitas dan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan diri. Kedua, peserta didik akan dapat mengembangkan daya kreativitasnya apabila proses belajar mengajar dilaksanakan secara terprogram, sistemis dan sistematis, serta ditopang oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Ketiga, dalam proses pengembangan kematangan intelektualnya, peserta didik perlu dipacu kemampuan berfikirnya secara logis dan sistematis. Dalam proses belajar mengajar, pengajar harus memberi arahan yang jelas agar peserta didik dapat memecahkan suatu persoalan secara logis dan ilmiah. Keempat, peserta didik harus diberi internalisasi dan keteladanan, dimana mereka dapat berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Fenomena ini dalam hal-hal tertentu dapat membentuk semangat loyalitas, toleransi, dan
kemampuan adaptabilitas yang tinggi. Dalam pendekatan ini perlu diselaraskan dengan kegiatan proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada mereka untuk berprakarsa secara dinamis dan kreatif. Oleh karena itu, diperlukan kinerja guru yang mendukung pencapaian kualitas tersebut.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang dinamika pembelajaran sejarah di SMA, maka penelitian ini dilaksanakan di SMA Islam Asy-Syifa Kabupaten Bekasi, dengan asumsi bahwa SMA tersebut dekat dengan tempat tinggal peneliti dan Guru Sejarah yang terdapat di sekolah itu memiliki kedekatan personal dengan peneliti.
B.  RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana dinamika pembelajaran sejarah di kelas X-1 SMA Islam Asy Syifa ?
b. Gagasan-gagasan apa yang bisa digunakan sebagai model pembelajaran sejarah di SMA Islam Asy Syifa ?


C.  TUJUAN PENELITIAN
a. Mengetahui dinamika pembelajaran sejarah di kelas X-1 SMA Islam Asy Syifa.
b.   Memberikan gagasan-gagasan teoritis yang aplikatif bagi pembelajaran sejarah di SMA Islam Asy Syifa.
D.    FOKUS PENELITIAN
Agar penelitian yang dilakukan lebih terarah, maka dalam penelitian ini hanya difokuskan pada proses pembelajaran Sejarah pada Kelas X-1 Semester Genap SMA Islam Asy Syifa Kabupaten Bekasi.
E.  KAJIAN TEORI
1.     Hakekat Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran merupakan suatu rangkaian peristiwa yang kompleks dan sistematis. Dalam peristiwa tersebut terjadi interaksi guru dan siswa  dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang menjadi kebiasaan  bagi siswa yang bersangkutan. Guru berperan sebagai pengajar dan siswa sebagai pelajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang terjadi bersamaan, tetapi memiliki makna yang berbeda, sebagaimana sebuah ungkapan bahwa “Peristiwa mengajar selalu disertai  dengan  peristiwa belajar, ada guru yang mengajar maka ada pula siswa yang belajar. Namun, ada siswa yang belajar belum tentu ada guru yang mengajar, sebab belajar bisa dilakukan sendiri[2].”
Nurhakim dalam BS. Jamarah dan A. Zain menjelaskan strategi pembelajaran yang meliputi pengajaran diskusi, membaca, penugasan, presentasi dan evaluasi keterlaksanaannya tergantung kepada 3 dasar komunikasi yaitu : komunikasi antara pengajar dan peserta didik, komunikasi antara peserta didik dengan sumber belajar dan komunikasi antara sesama peserta didik[3]. Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pembelajaran efektif dan optimal apabila ketiga komunikasi tersebut telah terselenggara dengan seimbang.
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.20 tahun 2003 mengatakan pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam artian pembelajaran merupakan proses belajar yang diciptakan guru dengan tujuan untuk mengembangkan kreativitas berfikir siswa sehingga kemampuan berfikir juga meningkat. Tidak hanya itu, proses belajar diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Sebagaimana diungkapkan Hamalik sebagai berikut:
“Pembelajaran mempunyai dua karakteristik yaitu: Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri[4]”.

Dalam petunjuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran Sejarah dijelaskan oleh Nana Supriatna bahwa penerapan strategi dalam pembelajaran Sejarah bertitik tolak pada dua hal yaitu: optimalisasi interaksi semua unsur pembelajaran dan optimalisasi keterlibatan seluruh indra siswa[5]. Oleh sebab itu guru dituntut mengolah bahan ajar  sedemikian rupa hingga melibatkan semua indra siswa secara optimal.
Selain itu, kreativitas guru sangat berperan dalam mengembangkan model-model pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa serta sarana dan prasarana yang ada. Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam pembelajaran Sejarah, untuk pokok bahasan/sub pokok bahasan tertentu mungkin dapat dicapai dengan pendekatan penemuan, pemecahan masalah, atau penyelidikan. Lebih lanjut Nana Supriatna menjelaskan karakteristik pembelajaran Sejarah di sekolah, antara lain:
a.       Pembelajaran Sejarah adalah berjenjang (bertahap). Materi Sejarah dimulai dari yang konkrit ke hal yang abstrak, dari konsep yang mudah ke konsep yang lebih sulit.
b.       Pembelajaran Sejarah mengikuti pola spiral. Dalam memperkenalkan konsep Sejarah baru selalu dikaitkan dengan konsep yang telah dipelajari sebelumnya.
c.       Pembelajaran Sejarah menekankan pola deduktif. Sejarah tersusun secara deduktif  aksiomatik. Pembelajaran tetap dikondisikan dengan siswa yang diajar. Misalnya pembelajaran Sejarah di SMP belum seluruhnya menggunakan pendekatan deduktif tapi masih campur dengan induktif.
d.       Pembelajaran Sejarah menganut kebenaran konsistensi. Kebenaran-kebenaran dalam Sejarah merupakan kebenaran konsistensi, tidak ada pertentangan kebenaran suatu konsep dengan konsep yang lainnya[6].
Berdasarkan karakteristik pembelajaran Sejarah tersebut pembelajaran Sejarah pada pendidikan menengah berbeda dengan pembelajaran Sejarah pada pendidikan  dasar. Penyajian Sejarah pada pendidikan menengah berbeda dengan cara penyajian Sejarah pada pendidikan dasar. Hal ini dipengaruhi oleh tahap perkembangan berpikir siswa. Pada jenjang pendidikan menengah pola berpikir siswa sudah mengarah pada ketrampilan proses dengan pola deduktif, sedangkan pada pendidikan dasar ketrampilan berpikir siswa masih pola induktif.
2.     Iklim Kelas Dan Kinerja Guru
Iklim kelas merupakan salah satu indikator penting yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, di samping faktor-faktor pendukung lainnya. Dikatakan Hyman dalam Hadiyanto & Subiyanto[7], bahwa iklim pembelajaran yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik. Kelas yang tertib dan kondusif untuk belajar mempunyai hubungan yang kuat dengan prestasi belajar siswa.
Faktor guru merupakan salah satu variabel input yang berpengaruh terhadap pencapaian kualitas pembelajaran. Proses pembelajaran akan menunjukkan kualitas tinggi apabila didukung oleh segala kesiapan input termasuk kinerja guru yang maksimal dalam kegiatan belajar mengajar. Disampaikan oleh Supardan dalam penelitiannya bahwa variabel guru sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran[8]. Guru sejarah yang memiliki kinerja baik, tidak hanya dapat menjadi fasilitator dan dinamisator bagi peserta didik, tetapi juga dapat memberikan model dan makna yang signifikan apa artinya belajar dari kelampauan. Sebagaimana dikatakan Goble dalam Supardan bahwa dari sudut kontinuitas sosial, guru memiliki fungsi sosial yang paling penting untuk mewujudkan model aksi sosial yang berfungsi sebagai motor bagi siswa dan masyarakatnya.
Menurut Mulyasa paling kurang ada 19 peran guru dalam kegiatan pendidikan yakni peran guru sebagai: pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu, model dan teladan, pribadi,
peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa ceritera, actor, emancipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator[9]. Untuk menunjang tugasnya tersebut, maka guru harus memiliki kompetensi yang memadai. Mulyasa mengidentifikasi kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yakni kemampuan dasar (kepribadian), kemampuan umum (kemampuan mengajar), dan kemampuan khusus (pengembangan keterampilan mengajar)[10]. Kemampuan dasar meliputi: beriman dan bertakwa, berwawasan Pancasila, mandiri penuh tanggungjawab, berwibawa, berdisiplin, berdedikasi, bersosialisasi dengan masyarakat, dan mencintai peserta didik serta peduli terhadap pendidikannya. Kemampuan umum meliputi: 1) menguasai ilmu pendidikan dan keguruan; 2) menguasai kurikulum; 3) menguasai didaktik metodik umum; 4) menguasai pengelolaan kelas; 5) mampu melaksanakan monitoring dan evaluasi peserta didik; dan 6) mampu mengembangkan dan aktualisasi diri. Sedangkan kemampuan khusus meliputi: keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas, dan mengajar kelompok kecil dan perorangan.
F.  METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada SMA Islam Asy Syifa yang berlokasi di Desa Jaya Sampurna, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada hari Sabtu Tanggal 11 Februari 2012 pada saat berlangsung proses belajar mengajar Sejarah. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X-1 SMA Islam Asy Syifa yang berjumlah 20 orang. Penelitian dilakukan pada saat berlangsungnya Kegiatan Belajar Mengajar Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012.
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan studi kasus ganda. Sumber data terdiri atas informan, tempat (peristiwa) dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (In-depth Interviewing) dengan menggunakan pertanyaan yang bersifat “open-ended”, observasi langsung yang dilakukan dengan observasi berperan pasif, pencatatan dokumen atau arsip, dan teknik dokumentasi. Informan dipilih secara purposif sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Untuk menguji validitas data digunakan trianggulasi data / sumber dan trianggulasi metode. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis interaktif yang meliputi tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data, penarikan simpulan atau verifikasi.
G. HASIL PENELITIAN
1.  Profil Sekolah
Berawal dari prakarsa para tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat di Kecamatan Serang Baru Kabupaten Bekasi  yang antara lain Bapak H. Madjih Suryamihardja (Sesepuh PGRI Serang Baru), Hj. Sari Fatimah (Pengelola Yayasan Siti Sarifah), H. Madih (Kepala Desa), dan Drs. Moh. Rambadi (Guru Setempat), pada tanggal 17 september 2002 SMA Islam Asy Syifa secara resmi berdiri. Sekolah ini didirikan berdampingan dengan Yayasan Panti Asuhan Siti Sarifah di Kampung Sampora Desa Jaya Sampurna Kecamatan Serang Baru Kabupaten Bekasi. Pada tanggal 27 Januari 2003, melalui surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 210 B, SMA Islam Asy Syifa secara resmi diakui. Sebagai Kepala Sekolah pertama adalah Bapak Yoyok Dariyo Ismoyo, S.Pd. Beliau sampai dengan saat ini masih menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMA Islam Asy Syifa.  
Adapun visi SMA Islam Asy Syifa adalah berusaha menciptakan manusia yang memiliki citra moral, citra kemandirian dan berwawasan lingkungan berdasarkan atas ketakwaan terhadap Allah SWT. Sedangkan misinya adalah sebagai berikut.
1) Terbentuknya insan pelajar yang memiliki moral, perilaku yang baik, berbudi pekerti yang luhur berbudaya bangsa Indonesia dan berakhlakul karimah berdasarkan aturan-aturan yang berlaku baik di kalangan masyarakat, sekolah, negara maupun agama.
2)   Terbentuknya generasi yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berjiwa patriotis, nasionalis tanpa mengabaikan nilai-nilai norma serta nilai-nilai luhur kebangsaan maupun keagamaan.
3)   Terbentuknya generasi yang berjiwa mandiri, bekerja keras, senang beraktivitas dan berkreatifitas,  untuk menatap kehidupan masa depan yang lebih cerah dalam menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi.
Adapun tujuan SMA Islam Asy Syifa adalah sebagai berikut:
1)   Menghasilkan generasi yang berwawasan IMTAQ dan IPTEK serta berfikir ke depan.
2)   Menghasilkan genarasi yang bermoral yang disiplin, jujur, bersih, berdedikasi serta bertanggung jawab.
3)   Mengingatkan dan menumbuhkembangkan bakat dan prestasi siswa dibidang akademis maupun non akademis.
4)   Mewujudkan dan mempersiapkan genarasi berwawasan kebangsaan dan berjiwa patriot.
5)   Menghasilkan genarasi yang peduli dan peka terhadap lingkungan.
Kondisi fisik SMA Islam Asy Syifa pada umumnya sudah baik dan memenuhi syarat untuk menunjang proses pembelajaran dengan lingkungan dalam sekolah yang cukup nyaman. SMA Islam Asy Syifa sudah memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai untuk menunjang proses pembelajaran, seperti ruang kelas berjumlah 6 terdiri atas 2 ruang untuk kelas X, 2 ruang untuk kelas XI, masing-masing Jurusan IPA dan IPS, dan 2 ruang untuk kelas XII IPA dan IPS. Selain itu terdapat 1 ruang multimedia yang digabung dengan Lab. Komputer, 1 ruang kantor, 1 ruang TU, 1 ruang Kepala Sekolah, 1 lapangan Bola Volley dan Basket yang juga digunakan pada saat upacara bendera.
Jumlah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di SMA Islam Asy Syifa seluruhnya berjumlah 23 orang, terdiri dari 20 orang guru dan 3 orang bagian tata usaha. Dari 20 orang guru tersebut sekitar 60 % diantaranya memiliki kesesuaian antara kompetensi akademik dengan bidang yang diajarnya, sedangkan sisanya merupakan sarjana yang berasal dari non kependidikan. Delapan dari dua puluh guru yang ada sudah memiliki sertifikat pendidik.
Secara spesifik di SMA Islam Asy Syifa hanya memiliki satu orang guru Sejarah. Dilihat dari perbandingan jumlah guru dengan siswa, ini sudah memadai mengingat di SMA tersebut hanya memiliki enam rombongan belajar.



2.  Dinamika Pembelajaran Sejarah Di Kelas X-1 SMA Islam Asy Syifa
Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau. Pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Peraturan Mendiknas No. 22 tahun 2006 menyebutkan bahwa mata pelajaran sejarah di SMA secara rinci memiliki 5 tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1.       Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
2.       Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara
benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan.
3.       Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
4.       Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
5. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.
Dalam proses pembelajaran sejarah, SMA Islam Asy Syifa sudah mengacu dan berusaha menerapkan pada pencapaian tujuan pembelajaran sejarah sebagaimana rambu-rambu di atas. Pencapaian tujuan pembelajaran selama ini tidak hanya terfokus pada kecakapan akademik saja, melainkan juga sudah menyentuh ranah kesadaran sejarah dan nasionalisme.
Materi yang disampaikan pada saat observasi ini berlangsung terkait dengan Standar Kompetensi 2.3  tentang asal-usul dan persebaran manusia di kepulauan Indonesia. Sebagai proses identifikasi dari tahapan penelitian yang mengarah pada substansi pembelajaran, maka dapat diinterpretasikan bahwa proses pembelajaran sejarah untuk materi sejarah SK 2.3 menunjukkan bahwa keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh keterampilan didaktik-metodik guru. Guru di sini memang menunjukkan sikap paedagogiknya dalam pembelajaran, namun masih bersifat Teacher Centered Learning (berpusat pada guru), belum mengarah kepada Student Centered Learning (berpusat kepada siswa).
Dalam konteks Student Centered Learning, guru disamping berperan di kelas, juga bertindak sebagai fasilitator, dinamisator dan sumber inspirasi bagi siswanya. Keseimbangan peran inilah yang menunjukkan adanya kontinum pembelajaran yang bergerak dari strategi ekspositori yang melibatkan peran penuh guru dalam proses pembelajaran maupun bimbingan, hingga pada strategi inkuiri yang melibatkan peran siswa secara penuh.
Pembelajaran sejarah memungkinkan penggunaan berbagai metode pembelajaran. Berbagai macam metode itu antara      lain, CTL, metode Problem Solving, Inquiry, dengan menggunakan pendekatan multidimensional, yaitu mengkaitkan materi yang sedang diajarkan dengan kehidupan saat ini dilihat dari aspek ekonomi, geografis, politik, sosial dan budayanya[11]. Dalam kasus SMA Islam Asy Syifa, guru belum terlihat menggunakan berbagai metode di atas. Guru masih menggunakan metode konvensional yaitu ceramah yang divariasikan interaksi dengan siswa. Interaksi itu terlihat ketika guru memberikan sesi tanya jawab yang disambut antusias oleh beberapa siswa untuk menanyakan beberapa hal mengenai materi.
Secara umum keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar cukup baik. Hal ini terlihat ketika beberapa siswa mencoba bertanya kepada guru terkait materi yang sedang diajarkan. Kesediaan siswa bertanya di kelas menunjukkan antusiasme siswa dalam pembelajaran sejarah. Berdasarkan wawancara peneliti terhadap beberapa siswa maka
dapat disimpulkan bahwa mereka sudah memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran Sejarah[12]. Memang, rasa antusias siswa dalam kegiatan pembelajaran mempunyai peran yang cukup dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Kecakapan guru dalam menyampaikan materi, sarana dan prasarana memadai sulit mendorong keberhasilan belajar siswa jika tidak diimbangi oleh minat dan perhatian siswa terhadap materi yang diajarkan.
Keberhasilan proses belajar mengajar, selain dipengaruhi faktor guru dan siswa, juga tergantung kepada sarana dan prasarana belajar yang mencukupi. Sarana pembelajaran dapat berupa tempat atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapannya, yang diorientasikan untuk memudahkan terjadinya kegiatan pembelajaran. Terdapat dua sarana pembelajaran yang harus tersedia, yakni perabot kelas atau alat pembelajaran dan media pembelajaran. Menurut Cruickshank yang dikutip dalam Aman & Dyah Kumalasari[13], sarana pembelajaran yang mempengaruhi kualitas proses pembelajaran terdiri atas ukuran kelas, luas ruang kelas, suhu udara, cahaya, suara, dan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam, yakni: a) media pandang diproyeksikan, seperti: OHP, slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti tv dan film[14].
Sarana dan media pembelajaran yang dimiliki SMA Islam Asy Syifa diantaranya adalah ruang multimedia yang digabung dengan laboratorium komputer, yang di dalamnya terdapat 20 set komputer, 1 buah OHP, 1 buah LCD/Infocus dan layar, 1 buah tv dan DVD, dan seperangkat CD pembelajaran materi ujian nasional.
Media pembelajaran memiliki fungsi utama sebagai alat bantu mengajar, berpengaruh terhadap terciptanya suasana, kondisi, budaya, dan lingkungan belajar yang dikelola oleh guru. Penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar siswa. Hal ini terlihat ketika peneliti mengamati secara langsung proses pembelajaran sejarah yang sedang berlangsung di kelas. Penggunaan media belajar LCD yang dilengkapi dengan tampilan materi yang menarik berhasil mencuri perhatian siswa dalam proses belajar mengajar. Terbukti dengan respon siswa ketika sesi tanya jawab diberikan oleh guru.
Terdapat beberapa kelemahan yang peneliti catat ketika guru menggunakan media LCD dalam pembelajaran sejarah. Pertama,  ketidaksesuaian antara materi yang disiapkan guru dengan jam pelajaran yang hanya satu jam pelajaran atau sekitar 45 menit. Sehingga tampak guru hanya terfokus pada materi, tanpa bisa melibatkan siswa aktif dalam diskusi[15]. Kedua, pemasangan media LCD yang membutuhkan waktu 5-10 menit membuat sisa waktu untuk penyampaian materi menjadi semakin sedikit. Ini dikarenakan jumlah LCD yang hanya satu buah sehingga tidak mungkin dipasang permanen di setiap kelas.
3.  Gagasan-Gagasan Teoritis Model Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah di sekolah, dilihat dari tujuan dan penggunaannya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sejarah empiris dan sejarah normatif. Sejarah empiris menyajikan substansi kesejarahan yang bersifat akademis-untuk tujuan keilmiahan. Sejarah normatif menyajikan substansi kesejarahan yang dipilih menurut ukuran nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan yang bersifat normatif, dalam hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan[16]. Secara umum pembelajaran sejarah di SMA bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan tentang masa lampau dengan berbagai aktivitas manusianya, untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah masyarakat dunia.
Dalam kaitannya dengan tujuan pembelajaran di atas, kompetensi akademis guru, seni mengajarnya, sangat menentukan apakah pelajaran sejarah dapat berlangsung ceria ataupun datar. Cara mengajar guru sejarah, memberikan efek besar dalam mengatasi kekurangmenarikan dalam proses pembelajaran sejarah. Harus dipahami bahwa tidak ada satupun metode pengajaran yang dianggap paling cocok. Atau dengan kata lain, metode pembelajaran tidak lagi melulu ceramah atau diskusi. Pembelajaran sejarah menuntut penggunaan multimetode dan multimedia. Metode pembelajaran sejarah tidak bisa tunggal, tetapi harus jamak, tergantung kompetensi apa yang akan disampaikan kepada siswa.
Pertama, berbagai metode pembelajaran yang ada sekarang ini bisa dipakai sebagai bahan strategi mengajar sejarah. Pendekatan Konstruktivisme bisa menjadi alternatif pembelajaran yang menarik. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah pengetahuan merupakan hasil konstruksi anak. Anak yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian. Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri[17]. Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa. Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan.
Pendekatan konstruktivisme sangat erat kaitannya dengan teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Teori  kognitif Piaget menyebutkan bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan[18]. Anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Teori ini menyarankan guru agar kegiatan pembelajaran diisi dengan kegiatan interaksi inderawi siswa dengan benda-benda dan fenomena konkrit yang ada di lingkungan.
Kedua, sejarah pada hakikatnya adalah suatu peristiwa dan perkembangan masyarakat yang menyangkut berbagai aspek atau dimensi kehidupan seperti : politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, hukum dan lain-lain. Oleh karenanya, dalam mengajarkan sejarah haruslah dengan pendekatan multidimensional, sehingga dalam memahami suatu peristiwa bisa secara utuh. Guru dituntut agar mumpuni dalam ilmu bantu sejarah, seperti sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, dan agama.
Ketiga, apabila sejarah tetap dapat berfungsi dalam pendidikan, maka harus dapat menyesuaikan diri terhadap situasi dewasa ini. Jika selama ini studi sejarah terbatas hanya pada fakta-fakta masa lampau, maka dalam perspektif baru, pembelajaran sejarah harus bersifat progresif dan berwawasan ke depan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembelajaran lebih menekankan analisis dibanding pemaparan fakta sejarah.
Keempat, pembelajaran sejarah yang bersifat analitis, akan merangsang siswa berpikir kritis dan kreatif. Pendekatan kreatif harus berjalan beriringan baik antara guru dengan siswa. Dimulai dengan pelukisan sejarah oleh guru dengan menggunakan berbagai metode yang telah dijelaskan sebelumnya, yang kemudian diikuti siswa untuk berpikir kritis dalam mencari simpulan atau pemecahan masalahnya. Pendekatan kreatif secara efektif mengajak siswa untuk dapat berpikir historis. Sebagaimana persis seperti yang dikatakan Sam Wineburg[19], berpikir historis, di satu sisi mampu menyelami masa lalu, mencoba memahami konteks jamannya, dan memanfaatkan pemahaman tersebut untuk menjadi manusia yang lebih humanis, arif, bijaksana dan teliti dalam bertindak.

 

H.  KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran Sejarah di SMA Islam Asy Syifa sebagai implementasi kurikulum nasional selama ini sudah menunjukkan kualitas yang cukup. Adapun faktor-faktor yang menghambat proses belajar mengajar Sejarah tidak menjadikan materi Sejarah tidak dapat diberikan secara optimal. Faktor-faktor itu dapat bersifat internal (pada saat berlangsungnya pembelajaran di kelas) maupun eksternal (kedudukan mata pelajaran Sejarah dalam kurikulum SMA), yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan proses maupun output. Dengan demikian diperlukan cara pikir sistem yang mengevaluasi secara berkelanjutan penerapan KTSP Sejarah secara cermat, yakni berdasarkan sudut pandang sistem yang meliputi kurikulum, bahan ajar, guru, siswa, dan sarana prasarana, sehingga pembelajaran Sejarah dapat memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik.
Mengingat adanya ungkapan bahwa tidak ada satu metode dan strategi pun yang paling baik untuk diterapkan kecuali tepat dan sesuai dengan kondisi peserta didik, maka menunjukkan bahwa metode apapun akan cocok dan efektif apabila sesuai dengan kondisi dalam proses pembelajaran. Metode ceramah sekalipun akan cocok apabila peserta didik memiliki tingkat pemahaman tinggi, dan dalam kapasitas kelas yang besar. Namun demikian akan lebih baik apabila pengajar mampu menyeleksi tentang mana-mana metode yang cocok untuk diterapkan dalam kelasnya. Atau dapat pula memadu beberapa metode sehingga proses pembelajaran tidak membosankan bagi peserta didik, dan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara substansial, tidak saja hanya menyentuh ranah kognitif belaka, melainkan pula ranah afektif maupun psikomotor. Itu berarti pembelajaran tidak sekedar transfer of knowledge, melainkan pula transfer of value. Inilah sebenarnya sejatinya sistem pendidikan yang menjadi cita-cita dan tujuan pendidikan nasional secara menyeluruh.














DAFTAR PUSTAKA

Aman & Dyah Kumalasari. Faktor-Faktor Pendukung Kualitas Pembelajaran Sejarah Di SMA 5 Yogyakarta. Artikel dalam Jurnal Istoria Vol.7 No.2 April 2010, FISE UNY.

Bafadal, Ibrahim. (2003). Manajemen perlengkapan sekolah. Teori dan aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara.

Djamarah, BS dan A.  Zain. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:  Rineka Cipta.
Gredler, Margaret E. Bell. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta : Rajawali Press.
Hadiyanto & Subiyanto. (2003). Pengembalian kebebasan guru untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 040. Januari 2003. diambil pada tanggal 6 September 2006 dari http://www.depdiknas.go.id.

Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyasa, E. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sardiman A. M. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

                       . Pengembangan Kurikulum Sejarah Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah Pada Seminar Regional Perubahan Kurikulum Sejarah SLTP/SMU dan Pembinaan Wawasan Kebangsaan Menuju Reformasi Sistem Pendidikan Nasional. UNS-Solo, 25 Juli 2002.

Supardan, Dadan. 2001. “Kreativitas Guru Sejarah dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam (http://fpips.upi.edu/jurnal/historia/dadansupardan%2C/artikel.pdf). Diakses pada 5 Februari 2012.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Supriatna, Nana. 2007. Konstruksi Pembelajaran Kritis. Bandung: Historia Utama Press Sejarah FPIPS UPI.

Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.


[1] Dadan Supardan. 2001. “Kreativitas Guru Sejarah dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam (http://fpips.upi.edu/jurnal/historia/dadansupardan%2C/artikel.pdf). Diakses pada 5 Februari 2012

[2] Sardiman A. M. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[3] Djamarah, BS dan A.  Zain. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:  Rineka Cipta.

[4] O. Hamalik. 2003. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.h.43
[5] Nana Supriatna. 2007.Konstruksi Pembelajaran Kritis. Bandung: Historia Utama Press Sejarah FPIPS UPI.h.117
[6] Ibid.h.123
[7] Hadiyanto & Subiyanto. (2003). Pengembalian kebebasan guru untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 040. Januari 2003. diambil pada tanggal 6 Februari 2012 dari http://www.depdiknas.go.id.h.8.
[8] Dadan Supardan. Op.Cit.h.63
[9] Mulyasa, E. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.h.37.

[10] Ibid.h.190-192
[11] Aman & Dyah Kumalasari. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KUALITAS PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA 5 YOGYAKARTA. Artikel dalam Jurnal Istoria Vol.7 No.2 April 2010, FISE UNY.
[12] Bagi sebagian siswa pelajaran Sejarah sama pentingnya dengan pelajaran lainnya seperti Matematika, Bahasa Inggris, Fisika, dan lain-lainnya. Walaupun menurut mereka tidak ada relevansinya bagi mereka ketika sudah lulus nanti. Wawancara tanggal 11 Februari 2012.
[13] Aman & Dyah Kumalasari. Op.Cit.h.11.
[14] Ibrahim Bafadal. (2003). Manajemen perlengkapan sekolah. Teori dan aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara.h.13-14.
[15] Materi asal-usul manusia Indonesia sebenarnya menarik untuk diberikan kepada siswa dalam bentuk diskusi, cuma karena keterbatasan waktu guru tidak sempat mengkondisikan siswa untuk berdiskusi. Wawancara peneliti dengan guru tanggal 11 Februari 2012.
[16] Sardiman, A.M. Pengembangan Kurikulum Sejarah Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi.Makalah Pada Seminar Regional Perubahan Kurikulum Sejarah SLTP/SMU dan Pembinaan Wawasan Kebangsaan Menuju Reformasi Sistem Pendidikan Nasional. UNS-Solo, 25 Juli 2002. h.9.
[17] Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
[18] Margaret E.Bell Gredler. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta : Rajawali Press.h.339.
[19] Sam Wineburg. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin (Koneksi Antar Materi )

Hubungan Filosofis KHD Dengan Patrap Triloka  Patrap Triloka adalah sebuah konsep pendidikan yang digagas oleh Suwardi Suryaningrat (alias K...